Selasa, 30 Oktober 2018

STUDI PEMIKIRAN HASAN HANAFI


Tugas Struktural
Mata Kuliah Ilmu Kalam III
STUDI PEMIKIRAN HASAN HANAFI
Dosen :
Naila Farah. M.pd


Di Susun Oleh :
MOH MAHFUDIN
BAKHRI
(AF SEMESTER IV)


KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON



KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jallah, yang telah menciptakan kehidupan ini dari yang tadinya tidak ada menjadi ada dan Yang telah memberi begitu banyak nikmat sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Struktural Sudi tokoh mata kuliah Ilmu kalam III dan shalawat serta salam semoga selalu terpanjatkan untuk baginda Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah berjuang menyiarkan Islam hingga sampai kepada kita sekarang ini.
Makalah ini saya buat bertujuan untuk memenuhi tugas Struktural mata kuliah Ilmu kalam III dan sebagai bahan untuk Ujian ahir nanati.
            Saya menyadari bahwa penelitian mengenai tokoh persis ini jauh dari kesempurnaan dalam penyusunannya, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun  saya perlukan agar saya menjadi lebih baik dalam menulis karya ilmiah di kemudian hari.
       Harapan saya mudah-mudahan tugas ini dapat bermanfaat dalam mempelajari Ilmu Kalam dan mendapatkan ridha dari Allah SWT
Amin…



Cirebon, 21 April 2013


Penulis



               BAB I
 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang

Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
Teologi islam (ilm al-kalam asy’ari), secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun ‘filosofis’. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniaannya, bukan dialektik tentang  konsep watak sosial dan sejarah, disamping ini ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia.
Sealain itu secara praktis, teologi tidak bias menjadi pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motifasi dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas dasar kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan  manusia, sehingga muncul keterpecahan (spilt) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang akhirnya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau singkritisme kepribadian. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme juga sosialisme (dalam ekonomi).




BAB II
PEMBAHSAN

A.Biografi
           Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi. Selain itu ia juga mempelajari pemikiran sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Tahun 1952 itu juga, tamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar Sarjana muda, kemudian ia melanjutkan study ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan progam Master dan Dokternya sekaligus dengan tesis. Disamping dunia akademik Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan kemasyarakatan. Aktif sebagai sekertaris umum Persatuan Masyarakat Fislafat Islam Mesir, anggota Ikatan Penulis asia-afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di  dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar Al-Islamai.
Ituah Hanafi, ayah dari tiga orang anak. Ia sekurang-kurangnya pernah menulis 20 buku dan puluhan makalah ilmiah yang lain. Karyanya yang popular ialah Al-Yasar al-Islami (Islam kiri), Min al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Ternyata, Hasan Hanafi bukan sekadar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.

B.  Kondisi Sosial

Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi Sosial Politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstern yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai  komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviyet di seluruh dunia. Kemenanga Soviyet salama perang dan dikukuhkannya perwakilan soviyet di Kaoiro (1942) ini semakin meningkatkan minat mahasiswa untuk belajar Komunisme. Semntar di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan Hasan al-Bana tahun 1929 di Ismailia yang pro-Islam dan anti barat. Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk hanafi sendiri pada awalnya.
Pemerintah mesir sendiri ambil alih dalam pergolakan tersebut, dengan melakukan pebersihan terhadap kaum komunis (1946) setelah setahun sebelumnya melarang aktifitaskelompok ini. Pergolakan ini terus berlanjut, setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain, tokoh partai sosialis. Dari sisi Pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung pada Islam (the islam trend) yang diwakili oleh, al-Bana dengan Ikhwanul Muslim-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal trend) Luthfi al-Sayyid dan para emigrant Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi peradaban Baraat dengan presentasi-presentasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan Barat (the synthetic trend) yang diwakili oleh  ‘Ali ‘Adul  Raziq (1966)
Dalam menghadapi tnatangan mordenitas dan liberalism politik, kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah. Pengadopsian sistem politik Barat oleh pemerintah  Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan barat menganggap bahwa, jika mwsie ingin maju, maka harus menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap bahwa  para ulama adalah kemdala Mordenisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial politik dan ekonomi.pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini,  banyak mendapat dukungan daari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan program-programnya.
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan kelompok pemikiran diatas, meski awal karier intelektualnya pernah berpihak pada kelompok pertama, tetapi pemikirannya mengalami proses dengan banyak dipengaruhi oleh kelompok dua dan tiga, terutama setelah belajar di prancis.

C. Beberapa Karya Hasan Hanafi
Sebagaimana dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh paramadinaOksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat yang dalam judul aslinya Muqadimah Fi Ilm Al Istighrab. Dalam karya tersebut ia mgajak kepada pembacanya berjihad melawan barat, tepatnya berteologi untu kepentingan pembebasan. Jika dilihat dari sprektur teoritis-filosofis watak pemikiran Hasan Hanafi kiri revolusioner. Sebagai seorang yang memiliki sense of reality yang kuat, Hasan Hanafi memiliki pandangan sangat empiris atau membumi.
Hasan Hanafi juga telah menerbitkan sebuah karya monumental dengan judul Min al Aqidah ila ats-tsawrah. Buku tersebut telah diterjemahkan oleh paramadina dengan judul Dari Akidah Menuju Revolusi. Selain itu juga Al Yasar Al Islami (Islam Kiri).

    D. Teologi Antroposentris

Karena menganggap teologi islam tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Hanafi mengajuka konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi bukan sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan social,menjadikan keimanan berfungsi secara actual. Karena itu gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentransformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris dari Tuhan kepada manusia (bumi). Pemikiran ini didasarkan pada dua alasan yaitu :  pertama,  kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas social, Hanafi menawarkan dua teori. Pertama, analisa bahasa. bahasa dan istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang  teologi yang khas dan seolah-olah sudah menjadi doktrin. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis, munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Dan berguna juga untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi kontemporer.
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkatan tersebut, menurtu Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui minimal dua tahapan penyaringan (reduksi). Reduksi fenomenologi dan reduksi eidetic. Pada tahap pertama, atau biasa disebut dengan metode apache. Hanafi menggunakan metode ini untuk menganalisa dan memahami realitas social, polotik dan ekonomi. Hanafi ingin agar realitas islam berbicara bagi dirinya sendiri, bahwa islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata islam itu sendiri, bukan dari Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.[2]
Hermeneutic adalah sebuah cara penafsiran teks atau symbol. Meatode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau uang tidak dialamai, kemudian dibawa ke msa sekarang. Hanafi menggunakan meatode Hermeneutik untuk melanfingkan gagasannya berupa antroposentrisme teologis dari wahyu kepada kenyataan, bagi hanafi yang dimaksud hermeneutic bukan saja intepretasi tetapi ilmu yang menjelaskan tentang pikiran tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sacral menjadi realitas social.

   E. Operasionalisasi Teologi Hanafi

Dari dua konsep di atas, ditambah metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekontruksi teologi dengan cara menafsir ulang tema teologi klasik secara metaforis analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga pemikiran penting Hanafi yang berhubingan dengan tema-tema kalam, dzat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan mengenai Tauhid. Disini terlihat Hanafi mencoba mengubahe term-term keagamaan dari yang spiritual dan sacral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorientasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang pemikiran Hanafi mengenai sifat-sifat (aushaf) Tuhan yang enam: wujud, qidam baqa’, mukhalafah li al-hawaditsi, qiyam binafsih dan wahdaniyah.
Wujud, menurut Hanafi wujud di sini tidak menjelaskan wujud tuhan, Karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia Tuhan tetap wujud, wujud disini berarti tajribah wujudiyah pada manusia. Qidam (dahulu) berarti pengalaman kesejahteraan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejahteran untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Ketiga Baqa’ berarti kekal, pengalaman, kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana berarti tuntutan manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana.
Keempat mukhalafah li al-hawaditsi berbeda dengan yang lainnya  dan qiyam binafsih berdiri sendiri, keduanya tuntutan agar umat manusia manusia mampu  menunjukan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik-titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir. Kelima, wahdaniyah. (keesaan) bukan merujuk pada keesaan Tuhan, penscian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang diarahkan pada faham trinitas, maupun politheisme, tetapi tetapi lebih mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan.
Dengan penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yagn dimaksud dengan istilah tauhid ini, bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistic, seprti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunitik.
Menurut Hanafi, apa yang dimaksud tauhid bukan berarti sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah ke tindakan konkrit, baik dari sisi penafian maupun penetapan. Dengan demikian dalam konteks kemanusiaan yang lebih konkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan social masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin.tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.

F.Kiri Islam

Dalam Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) tersebut, Hassan Hanafi mendiskusikan bebarapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid) dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan Muslim, disamping untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang, secara kesejarahan, kaya. Ia mengusulkan "Oksidentlisme" sebagai jawaban "Orientalisme" dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme dan kapitalisme (dari luar) serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan (dari dalam). Kiri islam berfokus pada problem-problem era ini.





BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas disampaikan beberapa hal, Pertama, dari sisi metodologis, Hasan Hanafi ada kesamaan dengan cara berfikir barat. Kesamaannya teletak pada persoalan arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, statemennya bahwa kemajuan islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khasanah, pemikiran islam sendiri jelas modal pemikiran fenomenologi Husserl. Kedua dari sisi gagasan, jika ditelussuri dari sisi gagasan dari para tokoh sebelumnya, terus terang apa yang disampaikan Hanafi dari rekontruksi kalamnya bukan sesuatu yang baru, dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa deskripsi dzat dan sifat Tuhan adalah deskripsi mengenai manusia iedeal, yang telah disampaikan oleh Mu’tazillah dan kaum sufis, begitu pula konsepnya tentang tauhid yang mendunia telah disampaikan oleh klangan Syi’ah. Tetapi hanafi mampu mengemas konsep-konsep tersebut secara lebih utuh, jelas dan up to date.
Merespon kondisi tersebut, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam yang merupakan salah satu gagasan progressifnya adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.



Saleh, khoiruddin. 2004. Wacana Baru Filsafat. Pustaka Pelajar: Jogjakarta
Hanafi, hasan. 1996. Dari Akidah Menuju Revolusi. Paramadiana: Jakarta

Hasan, Ridwan ahmad. 1997. Pemikiran Hassan Hanafi
studi historis kritis gagasan reaktualisasi tradisi keilmuan. IAIN Sunan Gunung Jati: Bandung


0 komentar:

Posting Komentar