Tugas
Struktural
Mata Kuliah
Ilmu Kalam III
STUDI PEMIKIRAN HASAN HANAFI
Dosen :
Naila Farah.
M.pd
Di Susun Oleh :
MOH MAHFUDIN
BAKHRI
(AF SEMESTER IV)
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah ‘Azza wa
Jallah, yang telah menciptakan kehidupan ini dari yang tadinya tidak ada
menjadi ada dan Yang telah memberi begitu banyak nikmat sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas Struktural Sudi tokoh mata kuliah Ilmu kalam III dan
shalawat serta salam semoga selalu terpanjatkan untuk baginda Nabi besar
Muhammad SAW. Yang telah berjuang menyiarkan Islam hingga sampai kepada kita
sekarang ini.
Makalah ini saya buat bertujuan untuk
memenuhi tugas Struktural mata kuliah Ilmu kalam III dan sebagai bahan untuk
Ujian ahir nanati.
Saya menyadari bahwa penelitian
mengenai tokoh persis ini jauh dari kesempurnaan dalam penyusunannya, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun
saya perlukan agar saya menjadi lebih baik dalam menulis karya ilmiah di
kemudian hari.
Harapan
saya mudah-mudahan tugas ini dapat bermanfaat dalam mempelajari Ilmu Kalam dan
mendapatkan ridha dari Allah SWT
Amin…
Cirebon,
21 April 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti
pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam
ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk
membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam
tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha
mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi
Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi
pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi
penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam
menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah
basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan
menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
Teologi islam (ilm al-kalam asy’ari),
secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’
maupun ‘filosofis’. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk
mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniaannya, bukan dialektik
tentang konsep watak sosial dan sejarah, disamping ini ilmu kalam juga
sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai
wakil Tuhan di bumi. Hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan
pembicaraan tentang manusia.
Sealain itu secara praktis, teologi tidak bias
menjadi pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motifasi dalam kehidupan
konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas dasar
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul
keterpecahan (spilt) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam
umat, yang akhirnya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau singkritisme
kepribadian. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi,
dengan adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan),
tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme
dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme juga sosialisme
(dalam ekonomi).
BAB
II
PEMBAHSAN
A.Biografi
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi. Selain itu ia juga mempelajari pemikiran sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi. Selain itu ia juga mempelajari pemikiran sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok
pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min
Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun
dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang
pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang
terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai
karya Hanafi yang paling monumental.
Tahun 1952 itu juga, tamat Tsanawiyah, Hanafi
melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956
dengan menyandang gelar Sarjana muda, kemudian ia melanjutkan study ke
Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan progam
Master dan Dokternya sekaligus dengan tesis. Disamping dunia akademik Hanafi
juga aktif dalam organisasi ilmiah dan kemasyarakatan. Aktif sebagai sekertaris
umum Persatuan Masyarakat Fislafat Islam Mesir, anggota Ikatan Penulis
asia-afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.
Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai
dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar
Al-Islamai.
Ituah Hanafi, ayah dari tiga orang anak. Ia
sekurang-kurangnya pernah menulis 20 buku dan puluhan makalah ilmiah yang lain.
Karyanya yang popular ialah Al-Yasar al-Islami (Islam kiri), Min
al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid
(Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan
lainnya. Ternyata, Hasan Hanafi bukan sekadar pemikir revolusioner, tapi juga
reformis tradisi intelektual Islam klasik.
B. Kondisi
Sosial
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi
masyarakat Mesir yang penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi Sosial
Politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstern yang saling berebut
pengaruh. Pada sayap kiri ada partai komunis yang semakin kuat atas
pengaruh Soviyet di seluruh dunia. Kemenanga Soviyet salama perang dan
dikukuhkannya perwakilan soviyet di Kaoiro (1942) ini semakin meningkatkan
minat mahasiswa untuk belajar Komunisme. Semntar di sayap kanan, ada Ikhwanul
Muslimin, didirikan Hasan al-Bana tahun 1929 di Ismailia yang pro-Islam dan
anti barat. Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk hanafi
sendiri pada awalnya.
Pemerintah mesir sendiri ambil alih dalam
pergolakan tersebut, dengan melakukan pebersihan terhadap kaum komunis (1946)
setelah setahun sebelumnya melarang aktifitaskelompok ini. Pergolakan ini terus
berlanjut, setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain,
tokoh partai sosialis. Dari sisi Pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran
yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung pada Islam
(the islam trend) yang diwakili oleh, al-Bana dengan Ikhwanul
Muslim-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (the
rasional scientific and liberal trend) Luthfi al-Sayyid dan para emigrant
Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi
peradaban Baraat dengan presentasi-presentasinya. Ketiga, kelompok yang
berusaha memadukan Islam dan Barat (the synthetic trend) yang diwakili
oleh ‘Ali ‘Adul Raziq (1966)
Dalam menghadapi tnatangan mordenitas dan
liberalism politik, kelompok pertama dan kebanyakan ulama konservatif
menganggap bahwa politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah.
Pengadopsian sistem politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti
pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang
kebanyakan para sarjana didikan barat menganggap bahwa, jika mwsie ingin maju,
maka harus menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap bahwa para ulama
adalah kemdala Mordenisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial
politik dan ekonomi.pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini, banyak
mendapat dukungan daari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan
program-programnya.
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan
gagasan-gagasan kelompok pemikiran diatas, meski awal karier intelektualnya
pernah berpihak pada kelompok pertama, tetapi pemikirannya mengalami proses
dengan banyak dipengaruhi oleh kelompok dua dan tiga, terutama setelah belajar
di prancis.
C. Beberapa Karya Hasan Hanafi
Sebagaimana
dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh paramadinaOksidentalisme; Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat yang dalam judul aslinya Muqadimah Fi Ilm Al
Istighrab. Dalam karya tersebut ia mgajak kepada pembacanya berjihad
melawan barat, tepatnya berteologi untu kepentingan pembebasan. Jika dilihat
dari sprektur teoritis-filosofis watak pemikiran Hasan Hanafi kiri
revolusioner. Sebagai seorang yang memiliki sense of reality yang kuat,
Hasan Hanafi memiliki pandangan sangat empiris atau membumi.
Hasan Hanafi
juga telah menerbitkan sebuah karya monumental dengan judul Min al Aqidah ila
ats-tsawrah. Buku tersebut telah diterjemahkan oleh paramadina dengan judul
Dari Akidah Menuju Revolusi. Selain itu juga Al Yasar Al Islami (Islam
Kiri).
D. Teologi Antroposentris
Karena menganggap teologi islam tidak ‘ilmiah’
dan tidak ‘membumi’, Hanafi mengajuka konsep baru tentang teologi Islam.
Tujuannya untuk menjadikan teologi bukan sekedar sebagai dogma keagamaan yang
kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan social,menjadikan
keimanan berfungsi secara actual. Karena itu gagasan Hanafi yang berkaitan
dengan teologi, berusaha untuk mentransformasikan teologi tradisional yang
bersifat teosentris menuju antroposentris dari Tuhan kepada manusia (bumi).
Pemikiran ini didasarkan pada dua alasan yaitu : pertama, kebutuhan
akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global
antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya
bersifat teoritik tetapi sekaligus praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan
dalam sejarah.
Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang
dianggap tidak berkaitan dengan realitas social, Hanafi menawarkan dua teori.
Pertama, analisa bahasa. bahasa dan istilah dalam teologi klasik adalah warisan
nenek moyang dalam bidang teologi yang khas dan seolah-olah sudah menjadi
doktrin. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi analisa ini dilakukan untuk
mengetahui latar belakang historis-sosiologis, munculnya teologi di masa lalu
dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Dan
berguna juga untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi
kontemporer.
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang
berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau realitas. Untuk sampai pada
tingkatan tersebut, menurtu Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini,
peneliti harus melalui minimal dua tahapan penyaringan (reduksi).
Reduksi fenomenologi dan reduksi eidetic. Pada tahap pertama, atau biasa
disebut dengan metode apache. Hanafi menggunakan metode ini untuk
menganalisa dan memahami realitas social, polotik dan ekonomi. Hanafi ingin
agar realitas islam berbicara bagi dirinya sendiri, bahwa islam adalah Islam
yang harus dilihat dari kacamata islam itu sendiri, bukan dari Barat. Jika
Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan
terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.[2]
Hermeneutic adalah sebuah cara penafsiran teks
atau symbol. Meatode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa
lampau uang tidak dialamai, kemudian dibawa ke msa sekarang. Hanafi menggunakan
meatode Hermeneutik untuk melanfingkan gagasannya berupa antroposentrisme
teologis dari wahyu kepada kenyataan, bagi hanafi yang dimaksud hermeneutic
bukan saja intepretasi tetapi ilmu yang menjelaskan tentang pikiran tuhan
kepada tingkat dunia, dari yang sacral menjadi realitas social.
E. Operasionalisasi Teologi Hanafi
Dari dua konsep di atas, ditambah metode
pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekontruksi teologi dengan cara
menafsir ulang tema teologi klasik secara metaforis analogis. Dibawah ini
dijelaskan tiga pemikiran penting Hanafi yang berhubingan dengan tema-tema
kalam, dzat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan mengenai Tauhid. Disini terlihat
Hanafi mencoba mengubahe term-term keagamaan dari yang spiritual dan sacral
menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi
melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat islam
yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorientasi pada realitas
empirik. Lebih jelas tentang pemikiran Hanafi mengenai sifat-sifat (aushaf)
Tuhan yang enam: wujud, qidam baqa’, mukhalafah li al-hawaditsi, qiyam
binafsih dan wahdaniyah.
Wujud, menurut Hanafi wujud di sini tidak menjelaskan
wujud tuhan, Karena Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia Tuhan tetap
wujud, wujud disini berarti tajribah wujudiyah pada manusia. Qidam (dahulu)
berarti pengalaman kesejahteraan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia
di dalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejahteran
untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi
terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Ketiga Baqa’ berarti
kekal, pengalaman, kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana berarti
tuntutan manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana.
Keempat mukhalafah li al-hawaditsi
berbeda dengan yang lainnya dan qiyam binafsih berdiri
sendiri, keduanya tuntutan agar umat manusia manusia mampu menunjukan
eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid
pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang
titik-titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh
kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir. Kelima, wahdaniyah. (keesaan)
bukan merujuk pada keesaan Tuhan, penscian Tuhan dari kegandaan (syirik)
yang diarahkan pada faham trinitas, maupun politheisme, tetapi tetapi
lebih mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan.
Dengan
penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yagn
dimaksud dengan istilah tauhid ini, bukan konsep yang menegaskan tentang
keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme,
tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku
dualistic, seprti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunitik.
Menurut Hanafi,
apa yang dimaksud tauhid bukan berarti sifat dari sebuah dzat (Tuhan),
deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka,
tetapi lebih mengarah ke tindakan konkrit, baik dari sisi penafian maupun
penetapan. Dengan demikian dalam konteks kemanusiaan yang lebih konkrit, tauhid
adalah upaya pada kesatuan social masyarakat tanpa kelas, kaya atau
miskin.tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa
perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang.
Jika Kiri Islam
baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program
pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya
selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat
uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat
dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika
buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
F.Kiri Islam
Dalam
Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) tersebut, Hassan Hanafi mendiskusikan bebarapa
isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan,
Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam,
revolusi Islam (revolusi Tauhid) dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah
revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya
rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme merupakan
keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan Muslim, disamping untuk memecahkan situasi
kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban
Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat
yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang, secara kesejarahan,
kaya. Ia mengusulkan "Oksidentlisme" sebagai jawaban
"Orientalisme" dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar
ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia
mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan
suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya
sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam sedang menghadapi tiga ancaman,
yaitu imperialisme, zionisme dan kapitalisme (dari luar) serta kemiskinan,
ketertindasan dan keterbelakangan (dari dalam). Kiri islam
berfokus pada problem-problem era ini.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas disampaikan beberapa
hal, Pertama, dari sisi metodologis, Hasan Hanafi ada kesamaan dengan cara
berfikir barat. Kesamaannya teletak pada persoalan arab (Islam) dalam
konteksnya sendiri, statemennya bahwa kemajuan islam tidak bisa dilakukan
dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas
khasanah, pemikiran islam sendiri jelas modal pemikiran fenomenologi Husserl.
Kedua dari sisi gagasan, jika ditelussuri dari sisi gagasan dari para tokoh
sebelumnya, terus terang apa yang disampaikan Hanafi dari rekontruksi kalamnya
bukan sesuatu yang baru, dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan
bahwa deskripsi dzat dan sifat Tuhan adalah deskripsi mengenai manusia iedeal,
yang telah disampaikan oleh Mu’tazillah dan kaum sufis, begitu pula konsepnya
tentang tauhid yang mendunia telah disampaikan oleh klangan Syi’ah. Tetapi
hanafi mampu mengemas konsep-konsep tersebut secara lebih utuh, jelas dan up
to date.
Merespon kondisi tersebut, Hasan Hanafi dengan
Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi
dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh
tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam yang merupakan salah satu
gagasan progressifnya adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas
alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta
menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi
bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas
kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar
Barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan.
Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek
kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm
al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme). Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi
merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke
akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan
melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
Hanafi,
hasan. 1996. Dari Akidah Menuju Revolusi. Paramadiana: Jakarta
Hasan, Ridwan ahmad. 1997. Pemikiran Hassan Hanafi
studi historis kritis gagasan reaktualisasi tradisi
keilmuan. IAIN Sunan Gunung Jati: Bandung
0 komentar:
Posting Komentar