Jumat, 10 Mei 2013

Sumber Ajaran Agama Islam


BAB I
PENDAHULUAN


Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.


       B.     Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah :
       1.      Memenuhi salah satu tugas Metodologi Study Islam
       2.      Mengetahui peranan mahasiswa dalam pembelajaran Metodologi Islam di Indonesia
       3.      Menumbuhkembangkan dan memantapkan sikap profesional yang diperlukan mahasiswa untuk menunjang tanggung jawab sebagai mahasiswa fakultas Pendidikan Agama Islam









BAB II
PEMBAHASAN

A.SUMBER AJARAN ISLAM
  Sumber Ajaran Islam pada intinya tidak terlepas dari wahyu Allah SAW.yang dituangkan dalam Al-Quran diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari,yaitu mulai malam ke 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H. Al-Quran diturunkan dalam dua fase , yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makkiyah), 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinh (Madaniyah). Isi Al-Quran terdiri atas 114 surat,6.236 ayat, 74 .437 kalimat dan 325.345 huruf. Proposi masing-masing fase tersebut adalah 19/30 (86 surat) untuk ayat-ayat Makkiyah dan 11/30 (28 surat) untuk ayat-ayat Madadiyah.Kendatipun Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa arab , bukan berarti Al-Quran diperuntukkan dengan menggunakan bahasa arab, melainkan diperuntukkan bagi seluruh umat Islam, tanpa mengenal ras dan atau suku,keturunan, warna kulit, bangsa dan bahasa.
    Oleh karna itu, tidak seluruh ayat Al-Quran bersifat rinci dan jelas.Banyak ayat Al-Quran yang bersifat global (mujmal), yang memerlukan penjelasan dan penafsiran yang bersifat kontekstual. Nabi Muhammad SAW. di samping bertugas untuk menyampaikan wahyu (Al-Quran) kepada seluruh umat manusia, sekaligus untuk memberi penjelasan tentang berbagai ayat yang belum jelas atau masih bersifat mujmal .Penjelasan Nabi Muhamma SAW. terhadap ayat-ayat Al-Quran inilah yang kemudian disebut hadis dan menjadi sumber pemikiran Islam.
    Untuk mempribumisasikan ayat-ayat Al-Quran di setiap waktu (jaman) dan tempat,diperlukan penafsiran yang lebih kontektual. Oleh karna itu, para ulama dan pemikir islam lainnya yang hidup pada zaman dan tempat tertentu dituntut untuk mampu menafsirkan  atau membumikan ayat-ayat Al-Quran dengan berpedoman pada hadis,atsar, penafsiran sebelumnya, akal, ilham atau intusi dan realitas. Hasil penafsiran tersebut kemudian disebut ijtihad dan dijadikan sumber pemikiran Islam yang ketiga setelah hadis.Atas dasar itulah, yang menjadi sumber ajaran Islam adalah Al-Quran,Al-Hadis, dan ijtihad.




B.SUMBER AJARAN ISLAM PRIMER

A. AL- QURAN
1. Pengertian Al-Quran
    Menurut Manna Khalil Al-Qathan secara etimologis, berasal dari kata ‘’qara’a, yaqra-u, atau qur-anam’’ yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (adh-dhommu) huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-Quran karena ia berisikan intisari dari ilmu pengetahuan.[1]
     Pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan Al-Quran tersebut sungguhpun berbeda,masih dapat ditampung oleh sifat dan karakteristik Al-Quran itu sendiri, yang ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya.
    Adapun pengertian Al-Quran dari segi istilah adalah berikut ini :
  1. Manna Al-Qathan menyatakan bahwa Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan bernilai ibadah bagi yang membacanya[2] .
  2. Az-Zarqani menyatakan bahwa Al-Quran adalah lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mulai awal surat Al-Fatahah, sampai akhir surat An-Nas.[3]
  3. Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian Al-Quran secara lebih lengkap.Menurutnya, Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,melalui jibril dengan menggunakan lafazh bahasa arab,isinya dijamin kebenarannya dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia, memberi petunjuk kepada mereka dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan pada ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia terhimpun dalam mushhaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian.[4]
  4. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Quran sebagai kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad SAW),ajarannya
mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan.Ia merupakg mulia yang esensinya tidak dimengerti,kecuali bagi orang yang berjiwa dan berakal cerdas.[5]     
     Al-Quran, selain menamai dirinya dengan nama Al-Quran, ia juga mempuyai nama-nama lainnya.Menurut Abu Al-Ma’ali Syaizalah, Al-Quran memiliki sekitar 55 nama, dan menurut Abu Hasan Al-Haraly ada 99 nama Al-Quran. Akan tetapi, menurut Subhi  Ash-Shalih, penyebutan nama-nama Al-Quran yang sekian banyak itu dianggap berlebih-lebihan, sehingga mencampuradukkan antara nama Al-Quran dan sifat-sifatnya. Di antara nama-nama Al-Quran ialah,al-furqan;al-kitab;adz-dzikir;at-tanzil.sifat-sifatnya adalah: an-nur;hudan;syifa;rahmah;mau ‘idhah;mubarak; mubin; aziz; majid;basyiran wa nadziran.[6]
     Berkenaan dengan definisi tersebut,berkembanglah studi tentang Al-Quran, baik dari segi kandungan ajarannya yang menghasilkan kitab-kitab tafsir yang sisusun dengan menggunakan berbagai pendekatan, maupun dari segi metode dan coraknya yang sangat bervareasi, sebagai mana yang kita jumpai saat ini.[7]
      Ada pula ulama yang secara khusus mengkaji metode menafsiran Al-Quran yang pernah digunakan para ulama, mulai metode tahlili (analisis ayat perayat) sampai metode maudhu’i , Ada pula yang meneliti Al-Quran dari segi latar belakang sejarah dan sosial mengenai turunnya, yang selanjutnya menimbulkan apa yang disebut ilmu Asbab An-Nuzul.
      Dalam hal itu, ada yang mengkhususkan dari mengkaji petunjuk cara membaca Al-Quran yang selanjutnya menimbulkan ilmu qira’at termasuk pula tajwid. Begitu pula, ada yang mengkaji Al-Quran dari segi sejarah penulisannya,nama-namanya,dan masih banyak lagi. Semua itu dilakukan para ulama dengan maksud agar umat islam dapat mengenal secara menyeluruh berbagai aspek yang berkenaan dengan Al-Quran. Dari sini pula, tidak mengherankan jika muncul satu jurusan dari salah satu fakultas  di IAIN dan universitas lainnya di dunia yang secara khusus mengkajin ilmu-ilmu Al-Quran

2.Fungsi Al-Quran
    Al-Quran sebagai kitab Allah yang terakhir diturunkan laksana mata air yang tidak pernah kering.Semakin digali, semakin memancarkan airnya. Para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan para salafussalih kita, laksana orang yang meminum air lautan. Semakin mereka banyak membaca
 mengamalkan Al-Qursn,semakin merasa dahaga.
Al-Quran memiliki sekian banyak fungsi, baik bagi Nabi Muhammad SAW. maupun bagi          kehidupan manusia secara keseluruhan. Di antara fungsi Al-Quran adalah :
a.       Bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW. dan kebenaran ajarannya. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tangtangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menentang siapapun  yang meragukannya  untuk meyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca Q.S.Ath-Thur[52]:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca Q.S.Hud [11]: 13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surat. Ketiga, menentang mereka untuk meyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca Q.S. Yunus [10]: 38 ). Keempat, menentang mereka untuk meyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca Q.S. Al-Baqarah [2]: 23).
b.      Pentunjuk (al-huda). Dalam Al-Quran terdapat tiga katagori tentang posisi Al-Quran sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum.Kedua, Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman.
c.       Al-Furqan (pemisah). Karena Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk,ia menjadi penjelas dari petunjuk-petunjuk terebut sekaligus berfungsibsebagaibal-furqan: pembeda dan bahkan pemisah antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dan yang salah.
d.      Asy-Syifa (obat). AL-Quran juga kaya dengan syifa’ ‘(penawar). Penyakit yang ada dalam dada, seperti dengki, iri hati, sombong, cinta dunia, dan sebagainya tidak memiliki tempat dalam dada para ahli Al-Quran.
e.       Al-Mau’izhah (nasehat). Dalam Al-Quran dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertaqwa. 

Syekh Muhammad Abduh, bapa pemandu aliran rasonalis, masih mendudukan fungsi Al-Quran yang tertinggi.Dalam arti, walaupun akal sehat mampu mengetahui yang benar dan yang salah, yang baik dan buruk, ia tidak mampu mengetahui hal-hal yang gaib. Di sinilah, letak fungsi dan peranan Al-Quran.[8]
Lebih dari itu, fungsi Al-Quran adalah sebagai hujjah umat manusia yang merupakan sumber nilai objektif, unifersal, dan abadi karena ia diturunkan dari Dzat Yang Mahatinggi.Kehujjahan Al-Quran dapat dibenarkan karena ia merupakan sumber segala macam aturan tentang hukum, sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dan sebagainya, yang harus dijadikanpandangan hidup bagi seluruh umat islam dalam memecahkan setiap persoalan.Demikian juga, Al-Quran berfungsi sebagai hakim yang memberikan keputusan terakhir mengenai perselisihan dikalangan para pemimpin, dan lain-lain.fungsi itu berlaku karena isi kitab-kitab suci terdahulu terdapat perubahan dan perombakan dari aslinya oleh para pemeluknya. Disamping itu, sebagian isinya dianggap kurang reveletan dengan perubahan dan perkembangan zaman dan tempat.[9]

3. Bukti-Bukti Otentisitas Al-Quran
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat.salah satu di antaranya adalah  bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu diperihara.
Demikianlah, Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuaan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang di lakukan oleh makhluk-makhluk-Nya,terutama manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarkan sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca Rasulullah SAW., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi SAW.
Akan tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain ? Dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya jaminan Allah di atas ? Tanpa ragu.Untuk menunjukan bukti-bukti otentisitas Al-Quran dapat digunakan berbagai pendekatan,
yaitu dengan melihat aspek kesejarahannya dan melihat ciri-ciri dan sifat dari Al-Quran itu sendiri.

2.AS-SUNNAH
 
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Quran dan hadis, juga didasarkan pada pendapat kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
      Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukan penyebutan al-hadis, seperti As-Sunnah, Al-Khabar, dan Al-Atsar . Ketiga istilah tersebut menurut kebayakan ulama hadis adalah sama dengan terminologi al-hadis,[10] yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan dan ketetapan. Pengertian ini didasarkan pada pandangan mereka terhadap Nabi sebagai suri teladan yang baik bagi manusia.

1.Pengertian Hadis

    Agar tidak membingungkan dan tidak terjebak dalam kesalahpahaman,ada baiknya dipaparkan dulumakna beberapa istilah diatas, baik secara etimologi maupun secara terminologi.
    Menurut ahli bahasa, Al-Hadis  adalah al-jadid (baru), al-khabar (berita), dan al-qarib (dekat),[11] Hadis dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai di antara dalam surah Ath-Thur[52] ayat 34, surah Al-Kahfi[18] ayat 06, dan surah Adh-Duha[93] ayat 11.
     Dalam pengertian al-hadis secara istilah atau terminologi, antara ulama hadis dan ulama ushul fiqih terjadi perbedaan pendapat.Menurut ulama hadis adalah “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat”.Sementara itu


menurut ulama ushul fiqih bahwa sanya hadis adalah “Segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW, yang berkaitan dengan hukum.”
    Al-Khabar secara bahasa berarti an-naba (berita); sedangkan Al-Atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat asy-syai). Arti terminologi al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama,memiliki arti yang [12]sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., sahabat, dan tabiin.
     Umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Quran. Kesepakatan mereka didasarkan pada nash, baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadis.Hadis dipergunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum dalam Al-Quran,sedangkan ijtihad digunakan jika tidak ditemukan ketetapan hukum, baik dalam Al-Quran maupun hadis.Keberadaan hadis sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, selain ketetapan Allah- yang dipahami dari ayat-ayat-Nya secara tersirat,juga merupakan ijma (konsensus) seperti terlihat dalam perilaku para sahabat. Misalnya, penjelasan Utsman bin Affan mengenai etika makan dan cars duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.,Begitu juga, Umar bin Khathtab mecium Hajar Aswad, ia berkata,” Engkau adalah batu, jika tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan menciummu.” Janji Abu Bakar untuk tidak meninggalkan atau melanggar perintah Rasul yang ia ikrarkan ketika disumpah (bai’at) menjadi kha;ifah.12  
    Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Al-Quran, As-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan Al-Quran.Keberadaan As-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Al-Quran yang bersifat :

  1. Global yang memerlukan perincian,
  2. Umum (menyuluruh) yang menghendaki pengecualian,
  3. Mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembataan,
  4. Ada pula isyarat Al-Quran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut;Bahkan, terdapat yang secara khusus tidak dijumpai keterangan dalam Al-Quran yang selanjutnya diserahkan kepada Nabi SAW. selain itu, ada pula yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran, tetapi hadis memberikan keterangan sehingga masalah tersebut menjadi kuat.
  
  Dalam kaitan ini, hadis befungsi merinci petunjuk dan isyarat Al-Quran yang bersifat global, pengecuali terhadap isyarat Al-Quran yang bersifat umum, pembatas terhadap ayat Al-Quran yang bersifat mutlak, dan pemberi informasi terhadap sesuatu kasus yang tidak dijumpai di dalam Al-Quran. Dengan posisi demikian, pemahaman Al-Quran dan pemahaman ajaran Islam yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan hadis.





 2.Kedudukan Hadis dalam Syariat Islam

     Umat Islam telah mengakui bahwa hadis Nabi SAW. dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Quran. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan secara pengamalannya dan atau dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam Al-Quran, hendaknya dicarikan penyelesaian dalam As-Sunnah atau Al-Hadis. Seandainya usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan ketentuan hukum dan cara pengamalannya yang benar-benar belum terjadi pada masa Nabi SAW. sehingga memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kekosongan (kevakuman) hukum dan kebekuan beramal, baru dialihkan untuk mencari pedoman lain yang dibenarkn oleh syariat, baik berupa ijtihad perseorangan maupun kelompok yang terwujud dalam bentuk ijma ulama atau pedoman lainya, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa syariat.[13] 
    Mengapa tingkatan atau kedudukan As-Sunnah/Hadis berada dibawah Al-Quran ? Asy-Syatibi memberikan argumentasi bahwa :
1)      Al-Quran diterima secara qath’i (meyakinkan), sedangkan hadis diterima secara zhanni ,kecuali hadis mutawatir, Keyakinan kita kepada hadis hanyalah secara global, bukan secara detail (tafshili), sedangkan Al-Quran, baik secara global maupun secara detail, diterima secara meyakin[14]kan.
2)      Hadis adakalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam Al-Quran, adakalanya memberi komentar terhdap Al-Quran, adakalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan atau memberi komentar terhadap Al-Quran, maka sudah tentu keadaanya
(statusnya) tidak sama dengan drazat pokok yang diberi penjelasan/komentar, yang      pokok (Al-Quran) pasti lebih utama daripada yang memberi komentar (Al-Hadis).
3) Dalam hadis terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni hadis menduduki posisi kedua   setelah Al-Quran sebagaimana diologi Nabi SAW.dengan Mu’adz bin Jabal.[15]

3.Kehujjahan As-Sunnah/Hadis

 Nabi SAW. adalah seorang Rasul yang ma’shum (terjaga dari segala perbuatan hina, dosa, dan maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau selalu dipelihara oleh Allah dari segala apa yang menurunkan citranya sebagai seorang rasul.Dalam Q.S. An—Nam: 3-4 yang artinya : “ Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Quran) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Quran itu) adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.
  Sebagian Ulama meyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan Al-Quran, bukan As-Sunnah. Ketika orang-orang kafir mengingkari terhadap Al-Quran sebagai wahyu dan dianggap sebagai buatan  Muhammad SAW. Allah menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai tambahan terhadap pengingkaran mereka akan kewahyuan Al-Quran.atas dasar itu,ayat-ayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan bahwa As-Sunnah termasuk wahyu Ilahi.
           Namun demikian, alasan ulama tersebut dibantah oleh ulama yang lainnya,yaitu bahwa walaupun ayat itu diturunkan untuk membaca Al-Quran, dalam mafhumnya As-sunnah termasuk didalamnya.
  Sebagian Ulama mendudukan Nabi Muhammad SAW,kedalam dua posisi.
           
 Pertama, posisinya sebagai manusia biasa atau al-basyar (Q.S.Al-Khahfi :110; Fuhshilat;6), sehingga beliau diperbolehkan melakukan ijjtihad walau tanpa berkonstultasi dengan firman Allah melalui Wahyu-Nya
             
Kedua, posisinya sebagai Rasulullah SAW. sehingga apapun yang di ucapkan, diperbuat, dan ditetapkan,merupakan bagian integral dari wahyu Allah.










C.     SUMBER AJARAN ISLAM SKUNDER
 Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu  :

A.Ijma’,
Ijma yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
  1. Qiyas,
Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
  1. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
  1. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
  1. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
  1. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
  1. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.




BAB III
PENUTUP

       A.    KESIMPULAN
Kesimpulkan Makalah ini adalah bahwa sumber-sumber ajaran islam terdiri dari ajaran islam primer dan skunder
Primer terdiri dari  Al-Qur’an dan Hadist sedangkan Skunder terdiri Ijtihad

       B.     SARAN
Kajian tentang makalah SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM   ini akan memberikan pengetahuan dan wawasan. Hal ini sangat penting agar para pendidik dapat memahami dan  pada giliranya kelak terhadap dinamika pendidikan itu sendiri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa dengan pengetahuan SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM     itu sendiri.
Demikianlah  makalah kami yang berjudul SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM   kami menyadari makalah ini masih banyak kekuranganya, karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun kami terima. Semoga makalah ini sangat berguna bagikita semua . Amin





[1] .Manna Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran,Maktabah Ma’arif, Riyadh,1981,hlm,20.
[2] Manna Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Mansyurat ‘ Ashr Al-Hadits,Mesir, t.t.hlm. 21.
[3] Az-Zarqani, Manahil Irfan fi ‘Ulum Al-Quran, Isa Al-Babi,t.t, Mesir hlm, 21.
[4] Abdul Wahab Khallaf ,Ilmu Ushul Al-Fiqih,Al-Majlis Al-Ala Al-Indonesia lil Ad-Daq’wah Al-     Islamiyyah,Jakarta,1972,cet.IX, hlm, 23.
[5] .Muhaimin,dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, Karya Abditma,surabaya,1994, hlm, 88.
[6] Ibid., hlm.88.
[7] .Lihat Subhi Al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran,op.cit., hlm. 71, Quraish Shihab,membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung,1992.hlm.71-111.
[8] .Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarak, Metode Studi Islam, Rosda, Bandung,2004,hlm.71.
[9] .Muhaimin,op.cit.hlm.91.
[10].Mahmud Thahan,1985,hlm,15-16,dan Fathurrahman, Ikhtisar Musthalah Al-Hadis, Al-Maarif,Bandung,1974,hlm.28.
[11] .Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadis; Ulumuhu wa Musthalahuh, Dar Al-Fikr,Libanon,1971,hlm.20. dan Endang Soetari Ad, Ilmu Hadis ,Amal Bakti Press, Bandung, 1984.hlm.1.
[12] .Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Maktabah Al-Islami, Beirut,t.th.,hlm.213 dan 378.
[13] .muhaimin,dkk.,op.cit.hlm.135.Prof.DR.Rosihon Anwar,M.Ag. Pengantar Studi Islam. Bandung.hlm.189.

[15] .Muhammad Abu Rayyah, Adlwa ala As-Sunnah Al-Muhammadiyah,Dar al- Ma’arif, Mesir 1957,hlm. 39-40. 




0 komentar:

Posting Komentar